Jumat, 09 Januari 2009

Kamis, 08 Januari 2009

Sure’ La Galigo
Naskah atau Sure’ La Galigo adalah cerita bersyair yang bersifat siklus. Di namakan La Galigo, disesuaikan dengan nama salah seorang tokoh utama cerita tersebut, yakni I La Galigo. Sure’ La Galigo bercerita tentang ratusan keturunan dewa yang hidup pada suatu masa selama tujuh generasi turun temurun pada berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan dan daerah atau pulau-pulau disekitarnya. Naskah bersyair tersebut ditulis dalam bahasa Bugis kuno dengan gaya bahasa sastra tinggi. Hingga memasuki abad ke-20 Masehi, naskah La Galigo secara luas diyakini oleh masyarakat Bugis sebagai suatu kitab sakral dan tidak dibolehkan dibaca tanpa didahului upacara ritual tertentu. Karena itu Naskah Sure’ La Galigo diperlakukan sebagai suatu yang keramat dan sama sekali tidak dibolehkan untuk dimodifikasi. Banyak orang Bugis yang masih yakin bahwa peristiwa yang diceritakan di dalam naskah tersebut benar-benar pernah terjadi suatu saat di masa lalu, ketika keadaan masih berbeda dengan masa kini dan ketika manusia masih berhubungan langsung dengan para Dewata. (Pelras Hal:37).

Meskipun tidak diketahui kapan lengkapnya Sure’ La Galigo di transkripsi menjadi naskah-naskah, bahkan kapan sebenarnya tradisi lisan itu mulai diciptakan, namun yang pasti Sure’ La Galigo menggunakan bahasa Bugis yang sangat kuno dari pada bahasa Bugis yang sekarang. Hingga kini versi lengkap Sure’ La Galigo belum ditemukan. Dari naskah-naskah yang masih ada, banyak diantaranya hanya berisi penggalan-penggalan cerita yang dimulai dan di akhiri dengan tiba-tiba atau hanya berisi sebagian kecil dari cerita dengan episode yang kadang-kadang tidak bersambung. Namun demikian, banyak sastrawan Bugis dan di daerah-daerah tertentu bahkan orang awam yang mengetahui sebagian besar jalan cerita Sure’ La Galigo tersebut mereka memperolehnya melalui tradisi lisan atau pembacaan di muka umum.

Sure’ La Galigo jelas bukan karya seorang pengarang saja. Banyak episode cerita La Galigo yang memiliki sejumlah variasi berbeda. Bukan sekedar varian biasa, yang tidak mungkin berasal dari naskah induk yang sama. Secara keseluruhan alur peristiwa dan hubungan antar ratusan tokoh ceritanya memperlihatkan konsistensi pada sekian banyak episode cerita. Hal ini membuktikan bahwa Sure’ La Galigo benar-benar tidak digubah dari kisah dan bentuk aslinya.

Pengkajian karya sastra Bugis itu, para ilmuwan asing dapat mengandalkan hasil jerih payah ilmuwan Belanda R.A. Kern yang menerbitkan katalog lengkap mengenai seluruh naskah La Galigo yang kini tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Eropa dan perpustakaan Matthes di Makassar. Dari 113 naskah yang ada, yang terdiri atas 31.500 halaman, R.A. Kern menyaring dan membuat ringkasan setebal 1.356 halaman yang merinci ratusan tokoh yang terdapat dalam seluruh cerita. Ringkasan tersebut telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada tahun 1989 dengan dukungan Institut Ilmu Bahasa dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV). Berdasarkan karya R.A. Kern yang tak ternilai harganya itu, orang dapat menelusuri secara lengkap hampir seluruh episode kisah La Galigo yang merupakan salah satu epos terpanjang di dunia dan lebih panjang dari epos Mahabarata, suatu perkembangan adalah permulaan penerbitan edisi Dwibahasa (Bugis-Indonesia) naskah La Galigo yang terpanjang, yaitu yang dikarang pada pertengahan abad ke-19 oleh Arung Pancana Toa Colli’ PujiE adalah salinan 12 jilid naskah La Galigo yang sebelumnya terserak-serak episodenya pada beberapa daerah. Waktu itu seorang keluarga cukup memiliki satu episode saja sudah dianggap luar biasa. Karena naskah-naskah itu tak mau dilepaskan pemiliknya kepada Matthes, maka ia pun meminta Colli’ PujiE menyalinnya dan menyusun episode itu secara berurutan sampai 12 jilid, jadi semacam editor. Dua belas jilid naskah La Galigo yang disalin Colli PujiE inilah yang dianggap sebagai karya sastra terpanjang di dunia 300.000 bait, yang menurut Kern hanya sepertiga dari jumlah naskah La Galigo secara keseluruhan
. Semua karyanya baik yang dihasilkan oleh Colli’ PujiE maupun karya peneliti Eropa yang menjadikannya sebagai nara sumber utama kini tersimpan di beberapa museum dan perpustakaan di Leiden Belanda dan beberapa perpustakaan dan museum di belahan dunia lainnya.

Naskah yang ditulis Arung Pancana Toa Colli’ PujiE pada tahun 1852 ini kemudian dicetak dan diterbitkan oleh G.K. Niemen dengan judul Geschiedenis van Tanette, diterbitkan oleh Gravenhage, Martinus Nijhoff, Leiden pada tahun 1883. Di dalam naskah ini alurnya dibagi ke dalam 18 bab yang menceritakan tentang para tokoh. Setiap tokoh diceritakan mulai lahirnya, percintaannya sampai perkawinannya. Alur ceritanya tunggal, tetapi kadang-kadang terdapat alur kilas balik dicelah-celah peristiwa seorang tokoh. Hal ini menyebabkan alur cerita menjadi kompleks, ditambah lagi penamaan tokoh yang selalu berubah-rubah, karena hampir setiap tokoh mempunyai nama lebih dari satu.

Naskah-naskah La Galigo yang ada di Sulawesi Selatan terdiri dari sejumlah jilid-jilid (Tereng_Bugis). Dimana diantara Tereng yang paling banyak diketahui oleh masyarakat Bugis diantaranya adalah Tereng Mula Tauwe, Tereng Riolona Batara Guru, Tereng Ritebbanna WelenrengngE, Tereng Sompenna Sawerigading Lao ri Cina, Tereng Janjinna La Galigo, Tereng ri Palettenna I Pinrakati. (Salim Muhammad Hal: 336).

Mitos To Manurung
Berbagai Varian pada Kerajaan di Sulawesi Selatan
Dalam sejarah antar suku di Sulawesi Selatan, masa To Manurung dipandang sebagai fase mula dari peletakan prinsip-prinsip pemerintahan dan kehidupan sosio-kultural. Sistem pemerintahan tersebut kemudian menjadi tradisi yang diwariskan secara turun temurun sampai pada generasi berikutnya hingga berakhirnya sistem pemerintahan kerajaan.

Berdasarkan pengertian etimologisnya, To Manurung adalah gabungan dari dua kata yang berasal dari bahasa Bugis, yaitu ’To’ dan ’Manurung’. Kata To adalah dari kata dasar dari ’tau’ (orang), sedangkan ’Manurung’ berasal dari kata dasar ’turung’ (yang turun), apabila kedua kata to dan manurung ini digabung, menjadi To Manurung, maka diperoleh pengertian sebagai ’orang yang turun’. Dalam Lontara Bugis dan tradisi lisan menyebutkan bahwa To Manurung (turun dari langit) atau pun muncul dari bawah (to-tompo’) dengan membawa pusaka (arajang). Mereka merupakan keturunan Dewata yang dikirim ke dunia manusia untuk mengakhiri masa chaos. To Manurung muncul ketika rangkaian kedua dari penguasa keturunan dewa hilang (gaib) dari bumi (rigillinna sanapatie). Selama tujuh generasi atau tujuh periode (pitu pariama) dan selama itu rakyat dan seluruh penghuni bumi tidak memiliki pemimpin yang disebut dengan masa sianre baleni tauwe’ manusia hidup seperti ikan, dimana yang lebih besar dan kuat memakan yang kecil dan lemah. Menurut Andaya Leonard (2003), metafor ini disebut dalam sastra Indian kuno sebagai konsep matsyanyaya, atau logika ikan. Menurut gagasan Indian Kuno tentang perputaran masa, manusia akan turun derajatnya di ujung peputaran masa dan kehilangan perasaan terhadap tugas alaminya. Karena bakal tidak ada pemimpin dan suatu masyarakat tanpa raja tidak akan dapat hidup logika ikan atau persamaannya di Barat hukum rimba akan muncul.

Dalam keputusasaan itu, rakyat meminta kepada dewa agar mengirim seorang penguasa ke bumi sekali lagi sehingga kedamaian dan ketertiban dapat dipulihkan. Permintaan ini terjawab dan seorang To Manurung muncul diantara rakyat di sebuah tempat yang terpencil. Menurut tradisi dari berbagai kerajaan, awalnya To Manurung itu ragu menerima tawaran mereka untuk menjadi pemimpin. Baru ketika jaminan tertentu dibuat dengan mengakui posisi istimewanya, To Manurung itu akhirnya melunak. Posisi rakyat diamankan dengan ditempatkannya para pimpinan komunitas dalam sebuah dewan khusus. Terdapat variasi dalam mitos To Manurung ini tentang seberapa besar kekuasaan diserahkan kepada To Manurung pada awalnya, yang memperlihatkan kekuasaan relatif dewan vis a vis penguasa To Manurung.

Dalam Lontara A’toriolong biasanya bersifat mitodologis daripada historis dan pada umunya memiliki pola yang seragam. Kronik biasanya dimulai dengan turunnya (To Manurung) dari Langit atau munculnya dari Dunia Bawah (Tompo’), raja atau arung pertama, yang kadang kala didahului dengan cerita dibukanya negeri (wanua) oleh para perintis sesudah mereka mengembara pada selang waktu beberapa lama. Setelah itu, menyusul deskripsi kondisi dan syarat kesepakatan yang diadakan antara raja yang baru dengan penduduk awal wanua, yang diwakili oleh matoa atau tetua mereka. Hal itu kadang pula disertai dengan rincian mengenai bagaiman suatu pemerintahan baru diatur, dilanjutkan dengan daftar silsilah raja-raja awal. Biasanya, sangat sedikit rincian tentang hal-hal selain itu yang dimasukkan pada bagian awal kronik.

To Manurung di Kerajaan Bone
To Manurung di Kerajaan Bone bernama ManurungngE ri Matajang sebagai Mangkau Bone ke-1, tidak diketahui asal-usulnya, kecuali dikisahkan secara variant dengan kejadian dimasa menghilangnya Sawerigading. Bone pun mengalami keadaan yang sama, yaitu terjadi chaos, adat istiadat tiada lagi dihiraukan oleh masyarakat. Ketika itu pulalah muncul secara tiba-tiba To Manurung ditempat terbuka berdiri di atas batu napara datar seorang laki-laki memakai pakaian yang berwarna kuning dengan seorang pemegang payung, seorang pemegang kipas dan seorang lagi yang bertugas membawakan selenrang (tempat sirih), disertai gejolak alam yang maha dasyat yang ditandai dengan turunnya hujan dan kilat dengan gemuruh guntur yang sambung menyambung disertai angin kencang selama beberapa hari lamanya. Ketika peristiwa alam itu berhenti dengan sendirinya berdatanganlah rakyat banyak melakukan sembah kepada To Manurung sambil menyampaikan maksudnya agar bersedia menjadi Mangkau Bone yang sebelumnya telah disepakati antara mereka untuk mengangkat To Manurung itu menjadi rajanya. Berikut kutipan percakapannya :

Wakil Rakyat : Ya, tuan. Kami datang menghadap tuan kiranya tuan dapat mengasihani kami agar menetaplah di Bone, tuanlah yang kami angkat menjadi raja kami untuk selanjutnya memimpin kami. Walaupun anak dan kehendak kami apabila tuan tidak menyetujui, kami pun menurut kepada tuanku asalkan tuan menjaga keselamatan kami dan harta benda kami. Apapun yang tuan perintahkan kepada kami, maka kami akan menurutinya.
To Manurung : Teddua nawa-nawa (orang setia) dan temmaballecoko (tidak mengingkari semua janji). Saya sangat menghargai atas persatuan kalian untuk mengangkat saya menjadi raja.

Setelah terjadi kesepakatan antara rakyat dan To Manurung, maka nalekkeni ManurungngE (memindahkan To Manurung) lalu dibawalah To Manurung itu ke Bone. Kemudian didirikan istana untuknya. Pada saat beliau melihat ke sekeliling yang dipenuhi banyak orang, beliau mengarahkan pandangannya ke sebuah lapangan dan beliau dapat mengetahui jumlah orang dilapangan tersebut, dari sinilah rakyat memberinya gelar mata silompoE (mata seluas lapangan tersebut). Seterusnya memerintah dengan kearifan dan kebijakan, di dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari harus dibantu oleh ketua kelompok rakyat yang digelar Matowa dengan tujuh orang matowa, kemudian pada perkembangannya kemudian berganti menjadi istilah Ade’ Pitu. To Manurung menikah dengan ManurungE ri To Toro dan melahirkan beberapa keturunan, yaitu : 1) La Umasa, 2) We Patanra Wanua, 3) I Bolong Bela, 4) I Tenri Ronrong, 5) We Arattiga dan 5) We Tenri Salongeng.

Setelah empat puluh tahun lamanya To Manurung memerintah, maka beliau mengumpulkan seluruh rakyatnya untuk mengangkat anaknya La Umasa menggantikannya sebagai raja di Kerajaan Bone. Setelah pengangkatan La Umasa menjadi Raja Bone menggantikan ayahnya, tiba-tiba terjadi gejolak alam dengan petir dan kilat sambung menyambung, suasana menjadi gelap. Seketika itu beliau dan isterinya mallajang (gaib) menghilang dari tempat duduknya. Lalu orang-orang menghampiri dimana diletakkan payung dan tempat sirihnya, namun kedua benda itu lenyap di tempatnya, kemudian digelar Mulaiye Panreng. Maka di lantiklah La Umasa menjadi raja di Kerajaan Bone bergelar Panre BessiE. La Umasa inilah menjadi leluhur raja-raja Bone.

To Manurung di Kerajaan Gowa
Kronik Gowa pun demikian, pendirian Kerajaan Gowa diawali dari To Manurung, namun tradisi lisan Makassar yang lain menyebutkan bahwa empat orang yang mendahului datangnya To Manurung (Tumanurung_Makassar), dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya (tidak disebutkan), Ratu Sapu dan Karaeng Tatangka dan telah terbentuk sembilan pemerintahan yang disebut Kasuwiyang Salapang (sembilan pegabdi negeri) yang diketuai oleh paccallaya. Pada masa itu antara Kasuwiyang Salapang terus menerus terjadi perseteruan dan kekacauan dimana-dimana. Muncullah To Manurung perempuan bernama Batara Guru di Bukit Tamalate tepatnya di sebuah tempat yang bernama Taka’bassia, pada masa chaos itu dan memulihkan ketertiban di negeri itu. Pada saat To Manurung itu turun dia memancarkan cahaya, memakai dokah yang indah lalu Paccallaya dan Kasuwiyang Salapang mendatangi tempat itu. Mereka duduk mengelilingi cahaya tersebut sambil bertafakkur dan kemudian cahaya tersebut berubah menjadi manusia, seorang wanita yang tidak diketahui asal usulnya sehingga mereka menjulukinya Tumanurung. Lalu berkatalah paccallaya dan kasuwiyang salapang kepada Tumanurung, kami semua kemari untuk mengangkat engkau menjadi raja kami dan sudilah menetap di negeri kami dan sombakulah yang merajai kami, kemudian dia bangkit dan berkata ”Sombai Karaeng Nu tu Gowa” (sembah rajamu wahai orang Gowa).

Tradisi lisan Kerajaan Gowa menghubungkan To Manurung ini dengan Kerajaan Luwu berdasarkan kronik La Galigo. Batara Guru bersuamikan Karaeng Bayo (Lakipadada), melahirkan Batara Lolo, Lakipadada adalah putera ketiga Simpurusiang. Sedangkan menurut tradisi lisan dan sejarah Tana’ Toraja, Lakipadada adalah cucu Tamboro Langi’ di Kandora. Garis keturunan inilah yang menghubungkan antara Kerajaan Luwu, Toraja dan Gowa. To Manurung Batara Guru dan Karaeng Bayo dinobatkan sebagai raja Gowa berdasarkan kesepakatan dengan paccallaya bersama kasuwiyang salapang yang kemudian berubah menjadi bate salapang (sembilan pemegang bendera). Mereka dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan, seperti pelantikan raja, masalah perang dan masalah-masalah intern kerajaan. To Manurung inilah yang menjadi leluhur dan merupakan cikal bakal raja-raja Gowa selama kurang lebih 657 tahun (1300-1957) (Ensiklopedia Sul-Sel 2004.Hal:484-6).


To Manurung di Kerajaan Soppeng
Menurut Lontara Kerajaan Soppeng, To Manurung di Kerajaan Soppeng bernama La Temmalala Sakkannyili yang turun dari langit dan dilantik menjadi Datu Soppeng di Sakkanyili oleh enam puluh negeri yang masing-masing dipimpin oleh seorang matowa. Ketika To Manurung ini turun dari langit, bumi dalam keadaan kacau sianre baleni tauwe’ yang digambarkan dalam Lontara Kerajaan Soppeng sebagai berikut :
”.... Denna gare’ riaseng arung aga tettassisenna taue siewa ada. Pada arana’-ana’ mani tauwe. Nasianre balena nassiabbelli bellayanna tauwe. Deetoni ade’e apagisiya riyasengnge bicara. Mariyaseng pitut-turungngengngi de’ arung siaganiro ittana sianre bale tauwe. Tekkeadde tekkebicara ...” (Lontara Soppeng;21)

Artinya (bebas) :
”... Konon tiada lagi penguasa yang dipertuan, sehingga orang-orang tiada lagi saling memberi kabar berita. Kecuali kepada para sanak keluarga/anak istri. Hidup bagaikan ikan, saling memakan antara satu dengan yang lain dan orang-orang saling menghianati, tidak ada saling mengharap. Tidak ada aturan dan hukum, apa lagi yang namanya peradilan. Selama tujuh turunan/generasi tidak dikenal adanya peguasa dan selama itu terjadi kekacauan manusia diibaratkan sebagai ikan yang saling memangsa tanpa adanya hukum dan peraturan ...”

Sejak saat itu Kerajaan Soppeng dipimpin oleh seorang To Manurung yang bernama La Temmalala Sakkannyili sebagai seorang Datu (raja) di Kerajaan Soppeng Riaja. La Temmalala Sakkannyili mengangkat seorang Datu kedua Petta ManurungngE ri Gowari/Libureng sebagai Datu Kerajaan Soppeng Rilau. Dari sini lahirlah kerajaan kembar Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau. Rakyat dari kedua kerajaan kembar Soppeng ini diikat oleh ikrar dan janji Akkuluadangena To-SoppengE na DatuE. Pengambilan keputusan dan kebijakan kerajaan diserahkan pertimbangannya kepada matowa-matowa. La Temmalala Sakkannyili kawin dengan ManurungngE ri Suppa yang bernama We Mapupu yang kemudian melahirkan La Maracinna yang nantinya akan meneruskan pemerintahan di Kerajaan Soppeng sebagai Datu ke-2.

To Manurung di Kerajaan Tanete
Kronik Kerajaan Tanete yang dikutip dari Lontara yang disusun oleh Arung Pancana Toa, Retna Kencana ColliE PujiE yang menceritakan tentang asal-usul keturunan mereka yang berasal dari To Manurung. Konon sekali waktu, orang Pangi naik ke gunung jangang-jangangngE untuk berburu. Pada waktu mereka tiba di puncak gunung, mereka dikejutkan oleh adanya sebuah guci yang berisi penuh air. Mereka berpikir, pastilah ada manusia di sekitar tempat ini. Mereka penasaran. Rasa penasaran itulah yang mengantarkannya masuk sampai ke kedalaman puncak gunung tersebut. Dan benar, di sana ia temui sepasang suami isteri yang disekitarnya beterbangan burung-burung yang membawa ikan. Ikan-ikan itulah yang menjadi makanan utama sepasang suami isteri itu. Orang Pangi kemudian bertanya: Darimanakah asal kalian berdua. Jawab mereka: Kami tidak tahu asal kami, yang pasti salah satu dari empat mata arah angin, yaitu utara, timur, selatan dan barat. Orang Pangi pun yakin bahwa mereka itu pasti To Manurung atau To Tompo’. Benar juga dugaannya, karena dikemudian hari, kelak setelah To Manurung ini melahirkan anak-anaknya, maka anak-anak tersebut menyapanya To Sangiang. Itu pertanda dia adalah To Tompo ( Orang yang muncul dari Buri Liu), diperkuat lagi adanya petunjuk bahwa mereka berdua hanya makan ikan, di tengah-tengah gunung. Karena itulah orang Pangi lalu memutuskan untuk mengajak orang asing ini turun menjadi raja di daerahnya, tapi ditolak dengan halus oleh To Sangiang.
Akhirnya, secara rutin orang Pangi itu naik ke gunung tersebut dengan tujuan: 1) berburu dan 2) menjenguk sepasang To Manurung itu. Tak lama kemudian To Manurung ini telah melahirkan puteri, dan setelah dewasa sang putri kemudian dijodohkan dengan putera raja orang Pangi di Ale-Kale’. Setelah itu, To Sangiang memilih turun dari gunung dan tinggal di sebuah tempat kosong yaitu Batu Leppana di kampung La Poncing. Di sanalah ia membangun sawah dan membentuk perkampungan. Kampung itulah kemudian yang diberi nama Aganionjo. To Sangiang menjadi raja pertama di tempat itu. Tidak lama kemudian sepasang putranya tidak pernah akur, selalu bertengkar, To Sangiang takut kalau mereka saling membunuh. Karena itulah ia memutuskan untuk mencari raja pengganti yang bisa dipatuhi oleh kedua putranya. Pilihannya jatuh pada Raja Segeri. Inilah cikal bakal raja Aganionjo, yang dikemudian hari diubah namanya menjadi Kerajaan Tanete. Perubahan ini dilakukan oleh To Maburu Limanna (Raja Tanete yang ke-8) sebagai wujud persaudaraannya dengan Kerajaan Tanete di Selayar.

To Manurung di Kerajaan Siang
Abdul Razak Daeng Mile menyatakan bahwa Raja Siang yang pertama disebut Tu-manurunge Ri Bontang (A. Razak Daeng Mile, PR : 1975). Sementara M. Taliu menyebut periode pertama Kerajaan Siang, digagas seorang tokoh perempuan, Manurunga ri Siang , bernama Nagauleng bergelar Puteri Kemala Mutu Manikkang . Garis keturunan To Manurung ri Siang inilah yang berganti-ganti menjadi raja di Kerajaan Siang (asossorangi ma'gauka) sampai tiba masanya Karaeng Allu memerintah di Kerajaan Siang setelah Kerajaan Siang dibawah dominasi Kerajaan Gowa. Sumber tradisi lisan menyebutkan bahwa penggagas dinasti Kerajaan Siang mempunyai lima saudara laki-laki dan perempuan yang masing – masing mendirikan Kerajaan Gowa, Bone, Luwu, Jawa dan Manila. Dalam tradisi tutur yang berkembang di Pangkajene diyakini bahwa Kerajaan Siang mempunyai tempat istimewa dibandingkan dengan kerajaan lainnya.

To Manurung di Kerajaan Mandar
Di dalam Lontara Kerajaan Mandar disebutkan bahwa To Manurung tidak turun di daerah Mandar tetapi turun di hulu Sungai Saddang yang kemudian beranak tujuh orang yang menyebar keseluruh daerah Sulawesi Selatan, salah satu anaknya yaitu Pongka Padang datang ke daerah Mandar menurunkan 11 orang anak. Kemudian salah satu dari sebelas orang anak itu bernama To Bittoeng yang kawin dengan salah seorang anak To Makaka’ Napo, dari perkawinan tersebut lahirlah I Manyambungi yang kemudian diangkat menjadi Arajang Balanipa yang pertama di daerah Mandar. Setelah wafat beliau di sebut To Dilaling, makamnya terdapat di Desa Napo, daerah bekas Distrik Limboro Kecamatan Tinambung Kabupaten Polmas. Mungkin Raja I Manyambungi inilah ayah I Rerasi, ibu Raja Gowa yang IX, Tuma’parisi’ Kallonna (bertahta tahun 1511-1547) merupakan salah satu Raja Gowa yang besar dalam sejarah. Kapan Kerajaan Balanipa pertama didirikan belum diperoleh kepastian, menurut M. Darwis Hamzah dalam bukunya “Polmas Dalam Pergelaran Kesenian Sulselra” behwa pada abad ke- 15 I Manyambungi diangkat oleh rakyat Balanipa menjadi Arajang (Maradia) Kerajaan Balanipa.

Orang berpendapat bahwa dialah raja pertama Kerajaan Balanipa. Karena sepanjang riwayat/cerita yang diceritakan dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi tak pernah tersebut ada raja Balanipa sebelumnya. Turunan To Dilaling inilah yang menjadi cikal-bakal bangsawan-bangsawan Kerajaan Mandar. Menurut sumber cerita rakyat, konon sesudah terjadinya air bah yang memusnahkan seluruh manusia, sisa tujuh manusia yang berhasil hidup pada suatu puncak gunung di sekitar hulu sungai Saddang tersebut anak-beranak, bersaudara, atau masing-masing lain (tidak berfamili), tapi secara kebetulan ketemu dihulu sungai Saddang tersebut, setelah masing-masing berhasil menyelamatkan diri dari amukan air bah. Ketujuh orang tersebut, adalah Pongka Padang menuju ke Utara menyusuri gunung dan tiba di Tabulahan (Daerah Pitu Ulunna Salu), Tolombeng Susu menuju ke Timur dan tiba/bermukim di Luwu, Tolando Beluwaq menuju ke Selatan dan tiba/bermukim di Kerajaan Bone, Topaqdorang juga menuju ke Selatan dan tiba/bermukim di Belau (Belawa), Tolambeq guntuq juga menuju ke Utara dan tiba/bermukim di Lariang (Daerah Mamuju) dan Sawerigading dan Tanriabeng, pergi berlayar tanpa diketahui arah perginya.
Menurut data Lontara Kerajaan Mandar (Lontara Pattappingan), juga mengakui adanya tujuh orang laki-laki semua di temukan di hulu Sungai Saddang dan ketujuhnya bersaudara kandung, yakni anak dari To Manurung, Tobisse Ditallang (laki-laki) kawin dengan Tokombong Dibura (wanita), lahirlah anak, yaitu Tobanua Pong (Kampung tua), I Laso Kepang, I Lando Guntuq, Usuq Sababang, Topaqdorang, Pongkapadang dan Tapalluq.
Dalam Lontar Kerajaan Balanipa Mandar, juga sepakat bahwa manusia pertama yang berkembang di Kerajaan Mandar, ditemukan di hulu Sungai Saddang dan mereka adalah para To Manurung yang bernama Tobisse Ditallang dan Tokombong Dibura. Perbedaannya dengan Lontara Pattappingan adalah; Tobisse Ditallang perempuan dan Tokombong Dibura laki-laki, juga tidak menentukan bahwa mereka memilki anak tujuh orang. Jelasnya adalah sebagai berikut, Tokombong Dibura kawin dengan Tobisse Ditallang, lahirlah Tobanua Pong. Tobanua Pong melahirkan Topaqdorang, Topaqdorang melahirkan Pongka Padang kawin dengan Sanrabone, lahirlah seorang anak perempuan yang kemudian diperisterikan Topole di Makka. Maka dari perkawinan ini , lahirlah Tometeq-eng Bassi dan Tometeq-eng Bassi kawin dengan sepupunya, lahirlah Daeng Lumalleq. Saeng Lumalleq kawin sepupu lagi, lahirlah sebelas orang anak, sebagai berikut : Daeng Tumana, Lamber Susu, Daeng Manganaq, Sahalima, Palao, To Andiri, Daeng Palulung, Todipikung, Tolambana, Topaniq Bulu dan Topaliq.

Dari sumber yang sedikit berbeda ini, sepakat menunjuk Pongka Padang sebagai nenek moyang orang Mandar, karena dari dialah lahir manusia sebelas bersaudara dan itulah nenek moyang manusia yang berkembang di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga. Dari sumber cerita rakyat, ada juga manusia sebelas versi Tabulahan, yang menurut sumber ini, juga anak cucu dari Pongkapadang. Lima orang diantaranya ; Daeng Tumana, Daeng Matana, Tammiq, Taajoang dan Sahalima berkembang di Pitu Ulunna Salu dan enam orang diantaranya berkembang di Pitu Ba’bana Binanga, yakni : Daeng Mallulung di Taraqmanu, Tolaqbinna di Kalumpang, Makkedaeng di Mamuju, Tokarabatu di Simaboroq, Tombulubassi di Tapalang dan Tokaiyyang Pudung di Mekkattaq.

To Manurung di Toraja
Puang Paliwang Tandilangi berkisah tentang To Manurung Datu Laukku’, Puang Mula Tau yang turun di Rura (Enrekang) serta Puang Tamboro’ Langi’ yang muncul di rumah tergantung Kandora, To Manurung yang ketiga inilah yang tersebar turunnya di Sulawesi Selatan, yang oleh Controleur Lanting disebut ”Ooster Sche of Westersce Marcopolo”. Lakipadada cucu Tamboro’ Langi’, kawin dengan Batara Lolo, puteri Batara Gowa melahirkan tiga orang putera 1) Pattala Merang, tinggal di Gowa menjadi Somba, mewarisi sebilah kelewang bernama Su’dang dan selembar panji bernama Samparaje; 2) Pattala Bunga, menjadi Pajung di Kerajaan Luwu, mewarisi sebilah kelewang bernama Bungawaru dan selembar panji bernama Salengka; 3) Pattala Bantang, kembali bersama Lakipadada ke Leponna Bula, mewarisi dua buah kelewang bernama Manian dan Dosso’ serta selembar panji bernama Bate’ Manurung.

Tamboro Langi’ di turunkan dari Langit oleh Puang Matoa oleh karena peraturan agama dan adat yang disebut Sukaran Aluk yang telah diperintahkan kepada Pong Mula Tau dan seorang To Manurung bernama Tandilino juga tidak berhasil memurnikannya. Bersama Tamboro Langi’ itulah turunnya peraturan agama dan adat yang disebut Sukaran Aluk Sanda Saratu (seratus peraturan agama dan hukum adat). Beberapa benda kebesaran yang disebut di atas memang terdapat di Kerajaan Gowa, sebilah kelewang kalompoang (regalia) bernama Su’danga serta terdapat di Kerajaan Luwu sebilah kelewang arajang (regelia) bernama La Bunga Waru dan panji Sulengkang yang pernah menjadi oro sao (regelia). Adapun kelewang Manian dan Dosso’ masih terdapat di Tana Toraja yang hingga kini masih dianggap benda keramat yang menghubungkan Tana Toraja, Kerajaan Luwu dan Gowa. Tapi kebenaran mitos tersebut sebagian masih bertentangan dengan isi sejumlah Lontara, antara lain La Bunga Waru bersamaan munculnya dengan La Teakasi dan La Ula’ Balu, ketiganya adalah Arajang (regelia) Kerajaan Luwu, sedangkan SamarajaE ternyata adalah panji Kerajaan Bone. Versi lain menurut Andi Pangerang Opu To Sinilele mantan Opu Pabbicara Kerajaan Luwu, mengatakan bahwa, Pattala Bunga Maddika Sangalla’ tidak lain adalah Lakipadada dimana dia adalah putera To Manurung Simpurusiang, adapun Pattala Merang disebutnya Pattala Mea, tak lain yang dimaksud ialah Anakaji (kakak Lakipadada) Datu Luwu setelah Simpurusiang. (Ima Kusuma)

Versi lain tentang asal usul orang Toraja menyebutkan bahwa Orang-orang Toraja menganggap moyangnya datang dari laut terdampar yang dinamai Tomabusa di Lembang (yang terdampar dan lahir dari buih-buih) yang dalam sebatang bambu dilontarkan ke pantai di Toraja pada waktu ketika hanya dapat dilihat dari puncak gunung-gunung tinggi di Toraja. Sedang semua sisa-sisa negerinya masih di bawah genangan air. Tomabusa di Lembang ini adalah raja pertama Toraja dan menjadi asal-usul orang Toraja. Kemudian orang Toraja susul menyusul turun ke tempat-tempat yang lebih rendah, setiap kali apabila tanah yang dapat dilihat bertambah, sehingga lambat laun mereka akhirnya menyebar ke seluruh Sulawesi.

Masyarakat Luwu dalam Sure’ I La Galigo
Masyarakat yang digambarkan dalam I La Galigo tampak sangat hirarkis. Datu Sang Penguasa adalah orang paling terkemuka dalam kerajaan. Dialah yang menjaga keseimbangan lingkungan alam maupun lingkungan sosial dan merupakan pewaris turunan Dewa dimuka bumi. Jika Datu melanggar aturan yang diatur oleh hukum Dewata misalnya melakukan kawin sumbang seperti yang diinginkan oleh Sawerigading atau membuang-buang nasi dan meragukan kuasa Dewata terhadap manusia, sekalipun pelakunya manusia keturunan Dewata, seperti raja Tompo Tikka’, La Urumpessi dan permaisurinya We Padauleng maka bencana akan menimpa kerajaannya, bahkan bisa dicabut Banappatinya (nyawanya) oleh PatotoE.

Sebenarnya bukan hanya Datu, tetapi semua bangsawan dalam tingkatan tertentu ikut memegang status keramat, karena mereka semua dianggap sebagai keturunan Dewata. Mereka semua dipercayai memiliki ’darah putih’ Dara Takku meski demikian, ada beberapa derajat kebangsawanan yang berkaitan dengan hirarki yang berlaku bagi para Dewa yang menjadi cikal bakal seseorang. Derajat itu selalu diperhitungkan pada saat-saat penting, sepeti pada saat lamaran perkawinan dengan cara menjelaskan silsilah garis keturunan dari leluhur Dewata mereka. Perempuan bangsawan, tidak dibolehkan menikah atau melakukan ’hubungan badan’ dengan kalangan biasa, apalagi dengan seorang budak jika ini terjadi maka dianggap pelanggaran besar. Cerita tentang La Bulisa dalam siklus La Galigo mengisahkan kasus semacam itu dimana laki-lakinya mendapat hukuman dari Dewata, mati dengan perut bengkak (mabusung). Makin tinggi derajat perempuan yang dilamar, seharusnya makin tinggi pula derajat laki-laki yang melamarnya sukurang-kurangnya sama tinggi atau lebih tinggi derajat perempuan itu) dan makin tinggi pula mahar (sompa) yang harus diberikan kepada pihak perempuan. Peraturan ini berlaku pada abad ke-20. Akan tetapi, mengingat derajat para tokoh La Galigo jauh lebih tinggi dari manusia zaman ini, maka sompa yang harus diberikan jauh lebih tinggi, yaitu sompa to Selli (mahar orang khayangan). Sedangkan mahar tertinggi masa kini (dan sudah sangat jarang diberikan) adalah sompa kati (mahar emas).

Dalam dunia Bugis kuno, kalangan biasa yang berdarah merah dipandang memiliki perbedaan yang fundamental dari bangsawan berdarah putih yang membawa esensi kedewataan ke muka bumi. Kalangan biasa tidak banyak disebut-sebut dalam naskah tersebut. Mereka dianggap keturunan dari pelayan pendiri kerajaan keturunan Dewata yang datang bersama junjungan mereka dari Dunia Atas atau Dunia Bawah. Dari potongan tradisi lisan yang dikenal luas di Sulawesi Selatan, tampaknya ada mitos menyangkut asal muasal mereka. Sekarang ini tinggal penggalan-penggalannya yang masih tersisa. Menurut tradisi lisan itu, pada mulanya air menutupi seluruh Bumi, kemudian sebagian kecil daratan menyatu yang kemudian menjadi Gunung Latimojong (di Sebelah Barat Luwu), Gunung Bawakaraeng (di Sebelah Utara Bantaeng), Bukit Tombolo’ di Kajang dan Bukit Gojeng di Sinjai. Manusia muncul di puncak-puncak ketinggian itu, kemudian turun untuk menghuni daratan. Mitos lebih rinci dapat ditemukan di kalangan penduduk Makassar pengunungan yang menganut sistem kepercayaan patuntung.

Tentang asal-usul para hamba sahaya, tak ditemukan adanya mitos mengenai mereka. Hanya disebutkan bahwa ketika Batara Guru turun ke bumi, dia disertai budak-budak oro kelling. Juga disebutkan bahwa ketika Sawerigading berlayar ia membawa hamba sahaya, saat bahaya mengancam seorang budak oro dijadikan persembahan; dikuliti, dibelah dua, lehernya dipenggal dan dilemparkan ke laut. Selain oro, yang dijadikan budak sahaya adalah orang-orang bulai, pincang, bungkuk dan cebol.

Senin, 05 Januari 2009

पेनुरुनन कुअलितास लिंग्कुंगन अकिबत अक्तिफितास TAMBANG

PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN AKIBAT
AKTIFITAS TAMBANG
(Suatu Pertimbangan Penting Dalam Menentukan Kebijakan Sektor Pertambangan)

Oleh:
HARIZAL A. LATIEF, S.Pi

Pertambangan merupakan salah satu sektor pembangunan yang sedang digalakkan di Indonesia. Pembangunan dan pengembangan sektor ini dilakukan karena berhubungan erat antara lain dengan pendapatan daerah, manfaat dan nilai tambah bagi masyarakat di sekitar tambang. Kontribusi sektor ini pada pembangunan daerah dirasakan cukup siknifikan. Namun demikian, pengembangan sektor ini sebaiknya tidak dipisahkan dengan isu kegiatan/aktifitas pertambangan itu sendiri di mana aktifitas pertambangan selalu berhubungan dengan dampaknya terhadap lingkungan, pembuangan limbah tambang, pencemaran logam berat (air raksa, arsen), dan lain sebagainya. Dalam penentuan kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya mineral, sejalan dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada awal tahun 2001 mendatang yang merupakan era memacu proses desentralisasi di berbagai sektor pemerintahan termasuk sektor pertambangan, maka isu aktifitas pertambangan yang dihubungkan dengan kualitas lingkungan sangat perlu diperhatikan dan dipertimbangkan untuk menjamin keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan serta menjamin iklim investasi yang kondusif bagi investor untuk pertambangan yang berskala besar.
Berdasarkan latar belakang di atas maka tulisan ini yang disusun berdasarkan tinjauan pustaka secara singkat mencoba membahas mengenai penurunan kualitas lingkungan akibat aktifitas pertambangan (walaupun disadari bahwa pustaka mengenai topik ini, sejauh pustaka yang sudah ditelusuri, masih sangat minim). Dalam tulisan ini kegiatan pertambangan dipahami sebagai kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh rakyat (Pertambangan Skala Kecil) dan pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan (Pertambangan Skala Besar). Khusus untuk pertambangan skala besar, perusahaan pertambangan emas PT. NMR dijadikan sebagai contoh karena perusahaan ini adalah satu-satunya perusahaan besar yang sementara beroperasi. Dan, pada akhir dari tulisan ini rekomendasi diberikan di mana diharapkan sebagai masukan dan pertimbangan dalam penentuan kebijakan Pemerintah Daerah untuk sektor pertambangan.

LIMBAH (TAILING) TAMBANG DAN DAMPAKNYA
Bentuk Limbah (Tailing) Tambang
Aktifitas tambang emas tak pernah lepas dari limbah hasil proses ekstraksi emas, limbah tersebut biasa disebut tailing. Bentuk fisik limbah dapat berwujud gas, cair, dan padat. Secara fisik gas buangan mengandung partikel-artikel debu dan secara kimia merupakan larutan berbagai jenis gas tergantung dari jenis mineral bijih yang diolah. Limbah cair mengandung bahan-bahan kimia beracun dari logam-logam berat dan sianida dengan konsentrasi yang relatif masih tinggi. Sedangkan limbah padat mempunyai komposisi kimia utamanya adalah sesuai dengan batuan induknya.

Jenis Tailing
1. Aliran Asam Tambang (Acid Mine Drainage). Aliran Asam Tambang (Acid Mine Drainage/AMD atau Acid Rock Drinage/ARD) merupakan limbah yang selalu menjadi masalah bagi kegiatan pertambangan; bahan ini sangat beracun (toksik) yang ditandai oleh tingkatan pH yang sangat rendah. Aliran asam sebagai suatu fenomena alam terbentuk oleh karena proses oksidasi yang terjadi pada permukaan partikel bebatuan karena langsung bereaksi dengan oksigen. Hughes & Poole 1989 menyatakan bahwa aliran asam ini diperani oleh mikroorganisme yang terdapat pada permukaan partikel.

2. Sedimen (Proses Sedimentasi). Tailing pada umumnya berbentuk padatan tersuspensi partikel lumpur dalam limbah cair bersama dengan partikel halus (ukuran <75 mm) dalam limbah padat. Sebagai contoh, tailing PT. NMR dibuang melalui pipa pembuangan ke lingkungan perairan Teluk Buyat di kedalaman ±82 meter dengan volume ±2000 ton per hari. Manakala tailing yang mengandung air tawar bercampur dengan air laut di perairan maka tailing tersebut mengalami pengelompokan (flocculation) dan terendapkan ke dasar perairan sebagai sedimen, namun laju pengendapannya berbeda-beda tergantung dari kondisi perairan. Dalam kasus ini Anonimus (1998) melaporkan bahwa sedimentasi total di daerah pantai sekitar Teluk Buyat (stasiun yang terdekat dengan Teluk Buyat pada sisi kiri dan kanan, yaitu ST#4 dan #5) pada kurun waktu antara Bulan Juli dan Oktober 1998 adalah berkisar 52.9601-216.3579 gram dengan laju sedimentasi berkisar 0.5092-2.1006 gram/hari dan kondisi ‘sangat keruh’. Nilai-nilai yang ditunjukkan tersebut dapat diartikan bahwa perairan di dan sekitar Teluk Buyat telah mengalami sedimentasi yang sangat tinggi dengan kondisi jelek jika dibandingkan dengan daerah yang jauh dari perairan Teluk Buyat (stasiun di depan Kotabunan, yaitu ST#7) pada kurun waktu yang sama (sedimentasi total sebesar 3.0757 gram dan laju sedimentasi sebesar 0.0290 gram/hari). Dampak Sedimentasi. Sedimentasi yang terjadi di suatu perairan dapat berpengaruh antara lain pada pendangkalan dan perubahan bentang alam dasar laut, kesuburan perairan, dan keanekaragaman hayati. a. Pendangkalan dan Perubahan Bentang Alam Dasar Laut. Laporan RKL/RPL PT. Newmont untuk periode Oktober-Desember 1998 menyatakan bahwa terjadi penumpukan sedimen disekitar ujung pipa (anus pipa) ±9 meter. Selanjutnya Anonimus 1999b melaporkan bahwa berdasarkan peta PT. NMR Tahun 1997, lokasi buangan limbah tailing (anus pipa) berada pada kedalaman air ±80-an meter. Pada pengukuran batimetri tahun 1999 telah terjadi perubahan kedalaman di anus pipa tailing, menjadi ±70 meter. Telah terjadi pendangkalan setebal 10 meter. Hasil pengukuran ini telah mengakibatkan perubahan kontur laut (batimetri) dari tahun 1997 ke tahun 1999. Kondisi ini dipertegas lagi dengan hasil pengukuran pada tahun 2000. Dengan demikian telah terjadi sedimentasi pada area yang cukup luas di perairan Teluk Buyat. b. Kesuburan Perairan. Anonimus 2000 menyatakan bahwa dampak dari adanya sedimentasi di Teluk Buyat di mana terjadinya penyebaran lumpur pekat dengan ketebalan antara 5 dan 10 meter menyebabkan kerusakan karang. Luasnya bidang yang tertutup sedimen akibat tailing telah menutupi area produktif perairan Teluk Buyat, dimana area ini adalah area pemijahan bagi biota laut, area estuaria yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang kaya. c. Keanekaragaman Hayati. Dampak penimbunan oleh sedimen (sedimentasi) yang terjadi diperairan baik secara langsung maupun tidak berhubungan dengan keberadaaan keanekaragaman hayati. Penimbunan dasar perairan oleh sedimen tailing dapat merusak dan memusnahkan komunitas bentik sehingga dapat menurunkan tingkat keanekaragaman hayati.

3. Sianida. Keberadaan Sianida. Sianida merupakan racun pembunuh yang paling ampuh untuk semua jenis mahluk hidup. Sianida berada di perairan Teluk Buyat oleh karena penggunaannya oleh PT. NMR dalam proses sianidasi ekstraksi emas. Beberapa penelitian telah mencoba mengukur konsentrasi total sianida, baik yang terlarut dalam air, sedimen, dan biota. Anonimus (1999b) melaporkan konsentrasi ion sianida pada dua macam jaringan tubuh biota laut (ikan), yaitu daging dan hati/perut. Ditemukan bahwa pada jaringan daging, konsentrasi ion sianida berkisar 0.177-0.554 ppm; sedangkan pada jaringan hati/perut berkisar 0.064-2.770 ppm. Belum dapat dikatakan apakah nilai konsentrasi tersebut tinggi atau rendah karena setelah ditelusuri belum ditemukan pustaka yang dapat dijadikan pembanding. Anonimus (1999) menjelaskan bahwa konsentrasi sianida di perairan Teluk Buyat masih berada di bawah batas ambang yang ditentukan oleh PP 20 Tahun 1990 (tentang pengendalian pencemaran air), di mana Peraturan Pemerintah tersebut membolehkan konsentrasi sianida di perairan bagi peruntukan perikanan dan peternakan (Golongan C) adalah 0.002 ppm. Sebaliknya, walaupun sianida ditemukan pada jaringan biota laut (ikan) pada konsentrasi 2.770, status pencemarannya belum diketahui karena belum ada peraturan yang mengaturnya. Dampak Sianida. (Kontaminasi pada Biota Laut). Sianida merupakan racun bagi semua mahluk hidup. Brachet (1957) melaporkan bahwa sianida disamping dapat menghambat pernapasan juga dapat mengakibatkan perkembangan sel yang tidak sempurna pada organisme laut. Selanjutnya, sianida dapat menghambat kerja ensim ferisitokrom oksidase dalam proses pengambilan oksigen untuk pernapasan sehingga kontaminasi pada biota laut dapat menyebabkan mortalitas. Keanekaragaman Hayati. Hasil penelitian Anonimus (2000) melaporkan penurunan jumlah jenis ikan yang pernah tertangkap di peairan Teluk Buyat dari 59 jenis (sebelum Tahun 1997) menjadi 13 jenis ikan. Selain itu, penelitian tersebut menemukan bahwa telah terjadi pergesaran lokasi penangkapan ikan yang sangat mencolok.

4. Logam Berat. Keberadaan Logam Berat. Konsentrasi logam berat, khsusnya merkuri (Hg), di perairan Sulawesi Utara dikhawatirkan meningkat sejalan dengan meningkatnya sumber yang ada. Pemakaian merkuri sebagai bahan kimia pembantu dalam proses amalgam untuk memperoleh emas oleh pertampangan rakyat merupakan sumber merkuri yang sangat besar di lingkungan. Keberadaan logam berat (misalnya As, Cd, dan Hg) di perairan Teluk Buyat telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Logam-logam berat ini berasal dari batuan/biji yang mengandung emas (ore) yang secara kontinyu dilepaskan ke lingkungan hidup (biosfir) oleh aktifitas pertambangan. Jenis unsur logam yang terkandung di dalam tailing tergantung dari jenis mineral yang terdapat di dalam biji, misalnya PT. NMR mengambil jenis Sinabar maka akan mengeluarkan tailing yang mengandung Hg, Realgar mengeluarkan Arsen (As), dan Arsenopirit mengeluarkan Arsen (As)/Besi (Fe). Berbagai logam berat yang terlarut dalam tailing berbentuk cair akan terendapkan ke sedimen di dasar perairan bersama-sama dengan partikel-partikel halus yang mengalami flocculation. Sehingga keberadaan logam-logam berat di sedimen akan berada terus-menerus di dasar perairan. Pada dasarnya logam berat berasal dari dalam tanah jauh dari lingkungan hidup (biosfir), namun oleh kegiatan tambang logam-logam tersebut masuk ke lingkungan hidup manusia. Anonimus (1999) melaporkan konsentrasi Arsen (As) di perairan Teluk Buyat, khususnya yang terdapat pada sedimen sebesar 645.00 ppm, sedangkan pada jaringan ikan dan plankton, berturut-turut sebesar 3.40 dan 17.48 ppm (konsentrasi tertinggi di dalam sampel). Anonimus (1999b) juga melaporkan konsentrasi logam berat ini yang terdapat pada sedimen dan biota laut (ikan) adalah berturut-turut sebesar 0.176 dan 0.032 ppm (konsentrasi tertinggi di dalam sampel). Konsentrasi As yang terkandung di dalam tailing hasil olahan tambang PT. NMR telah dilaporkan sebelumnya oleh Anonimus 1994 sebesar 840 ppm. Dampak Logam Berat (Kontaminasi pada Biota Laut). Arsen (As). Anonimus (1999a) selanjutnya melaporkan bahwa konsentrasi As pada jaringan plankton cukup tinggi, dan ini menindikasikan bahwa logam berat As telah masuk ke dalam rantai makanan di laut. Selanjutnya dijelaskan bahwa As yang beracun ini suatu saat akan masuk ke dalam biota laut dan akhirnya ke tubuh manusia. Rantai makanan dapat berfungsi dalam pembesaran logam berat secara biologi (biomaknifikasi) di mana konsentrasi yang sangat tinggi akan ditemukan pada rantai makanan tertinggi. Merkuri (Hg). Di alam merkuri (air raksa) ditemukan dalam bentuk elemen merkuri (Hg0), merkuri monovalen (HgI), dan bivalen (HgII). Merkuri apabila masuk ke dalam perairan mudah berikatan dengan klor yang ada pada air laut, reaksi kimianya akan membentuk ikatan HgCl (senyawa merkuri in-organik), pada bentuk ini Hg mudah masuk ke dalam plankton dan dapat berpindah ke biota laut lain. Merkuri inorganik (HgCl) akan tertransformasi menjadi merkuri organik (merkuri metil) oleh peran mikroorganisme yang terjadi di sedimen di dasar perairan. Menurut Waldock (1994), senyawa metil-merkuri adalah bentuk merkuri organik yang umum terdapat di lingkungan perairan. Senyawa ini sangat beracun dan diperkirakan 4-31 kali lebih beracun dari bentuk merkuri inorganik. Selain itu, merkuri dalam bentuk organik yang umumnya berada pada konsentrasi rendah di air dan sedimen adalah bersifat sangat bioakumulatif (terserap secara biologis). Metil-merkuri dalam jumlah 99% terdapat di dalam jaringan daging ikan.
Berdasarkan kajian pustaka yang dikumpulkan maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Aliran Asam Tambang (Acid Main Drainage) merupakan tailing yang paling beracun karena mempunyai tingkat keasaman (pH) yang rendah. 2. Sedimentasi dan laju sedimentasi yang tinggi diakibatkan oleh partikel-partikel tailing. Sedimen berdampak pada pendangkalan dan perubahan bentang alam dasar laut, kesuburan perairan, dan keanekaragaman hayati. 3. Sianida merupakan limbah yang sangat berbahaya bagi biota laut, walaupun konsentrasinya masih berada di bawah ambang batas tapi ion sianida dapat ditemukan pada jaringan daging biota laut (ikan). Dapat berdampak pada kontaminasi pada biota laut dan keanekaragaman hayati perairan. 4. Logam berat seperti Arsen (As) dan merkuri (Hg) yang sudah mengkontaminasi perairan, baik pada sedimen maupun pada biota laut (ikan) dan dikhawatirkan dapat mengkontaminasi manusia.

Penulis Adalah Alumnus Fakultas
Kelautan dan Perikanan Universitas
Brawijaya Malang